Wednesday 14 January 2015

Mentaya River, Central of Borneo

Berawal dari sebuah kota kecil di Jawa Timur, kota Batu dan kemudian merantau ke Jakarta sebagai anak kuliah, nggak pernah terbersit bahwa saya akan kembali tinggal di sebuah kota kecil lainnya. 

SAMPIT, KALIMANTAN TENGAH.

Mungkin ini yang dibilang rencana Yang Maha Kuasa kita nggak pernah tahu. Jujur saja, saya merencakan karir di Jakarta atau paling tidak kembali ke Malang, bukan ke sebuah kota yang jauh jauh jauh dari rumah. 

Pernah sih, kepikiran bahwa kelak saya akan berlibur ke seluruh pulau di Indonesia, tapi untuk tinggal lebih dari seminggu atau bahkan sampai bertahun- tahun tentu saja itu jauh dari pikiran saya. 

Dan ternyata disinilah saya berada. Rasanya saya kok wajib berbagi tentang kalimantan di blog ini. Hanya menceritakan kalimantan dari presepektif saya, prespektif seseorang yang selalu menuliskan "mudah beradaptasi" di CVnya tapi ternyata sangat susah untuk beradaptasi di pulau terbesar di Indonesia ini. 

Yang paling menyita perhatian saya sejak awal datang ke Sampit adalah sebuah sungai yang jauh lebih besar dari pada bayangan saya akan sungai (dengan pembandingan sungai yang ada di jawa).


SUNGAI MENTAYA, KALIMANTAN TENGAH.


Sudah dari sekolah dasar, saya mempelajari kalau di Kalimantan orang menggunakan sungai sebagai salah satu sarana transportasi. Sejujurnya, saya selalu akan berfikir bahwa mungkin sungai yang ada di Kalimantan sedikit lebih besar dari pada apa yang biasa saya lihat di Jawa. Kebetulan dibelakang rumah nenek saya di Kediri (Jawa Timur) ada sebuah sungai yang kurang lebih lebarnya 2,5 meter. Dan ternyataaaaa...... JAUH LEBIH BESAR. Bahkan saya terheran- heran ada kapal tongkang yang besar yang bisa hilir mudik melalui sungai itu.


Menurut wikipedia: Sungai Mentaya ini merupakan sungai utama yang dapat dilayari perahu bermotor, walaupun hanya 67 persen yang dapat dilayari. Hal ini disebabkan karena morfologi sungai yang sulit, endapan dan alur sungai yang tidak terpelihara, endapan gosong, serta bekas-bekas potongan kayu. Dari Teluk Sampit sungai ini membujur ke arah utara melewati kota Sampit. Di sebelah utara kota Sampit, sungai ini terbagi dalam beberapa anak sungai yang lebih kecil. Salah satunya adalah Sungai Sampit yang membujur ke arah timur laut.

Yang membuat saya terheran- heran adalah banyak orang yang tinggal di pinggiran sungai mentaya. Dan mereka bisa hidup dengan nyaman loh. Lihat saja rumah nelayan ini, jelas- jelas mereka ada di atas sungai. Kalau saya sih, sedikit saja becek di depan rumah pasti sudah malas untuk keluar rumah.

diseberang sungai ada tulisan "SELAMAT DATANG DI SAMPIT" yang bahkan dengan mata telanjangpung kadang susah dibaca karena saking jauhnya. Bayangkan betapa lebarnya sungai Mentaya ini.

Ini yang tadi saya bilang, kapal Tongkang yang besar saja bisa berlayar dan hilir mudik di sungai ini. Padahal kapal sebesar ini biasanya saya lihat ada di laut dan mengangkat minyak. 

Ini kapal Ferry yang digunakan masyarakat buat hilir mudik dari Kota Sampit menuju ke seberang. 

Kalau ngebayangin pelabuhannya dibuat dari semen dan seperti pelabuhan- pelabuhan di Jawa, kita pasti salah besar. Kayu adalah salah satu sumber daya yang paling banyak digunakan di sini, termasuk untuk pelabuhan.

Rumah padat penduduk yang berada di atas air, dan disokong oleh kayu- kayu pilihan khas Kalimantan.

Kalau diperhatikan, kamar mandi berada jauh di luar rumah (namun masih menempel di rumah) dan kalau bentuknya seperti itu, sudah dapat di pastikan kalau toiletnya dengan sistem buang langsung menuju sungai.

Pelabuhan pribadi tepat di belakang rumah. Seperti lifestyle orang kaya luar negeri bukan?

Mungkin mereka memang tidak memiliki mobil, tapi sampan atau kapal adalah salah satu kendaraan yang harus mereka miliki.

Karena Sungai Mentaya punya banyak anak sungai, tentu saja jalan aspalpun terkadang terpotong, dan ini adalah penyambungnya. Jembatan besar yang cukup kokoh, dan lagi- lagi berasal dari Kayu.

Yang menarik dari gambar ini adalah, tanaman yang mereka tanam. Terlihat menyembul di atas sungai namun di pagari dengan kokoh.
  
lebih besar dari pada apa yang saya pikirkan sebelumnya

anak- anak dengan santai bermain bersebelahan dengan kapal yang bersandar

Satu hal yang menjadi konsen utama saya, sungai ini kotor dan berwarna coklat. Apalagi ada banyak kapal yang hilir mudik meninggalkan limbah minyak pada sungai. Walaupun besar dan mengagumkan, warna coklat gelapnya mengurangi keindahan sungai Mentaya ini.

No comments:

Post a Comment