Sunday 13 June 2010

Belajar dari SD Cihuni 2 (part 2)

“Kampus apaan nih, nggak ada tissue di toiletnya!”, kalimat itu sudah sangat familiar ditelinga saya.
Bahkan mungkin, secara sengaja atau tidak sengaja, saya sering mengutarakannya.
Kalimat itu muncul saat saya dan segerombolan wanita lainnya ada di toilet kampus yang tidak selalu menyediakan tissue yang cukup untuk kebutuhan kewanitaan.

Namun, tanggal 5 Juni 2010 lalu saya terhentak oleh sebuah pengalaman menggelikan namun juga mengusik batin terdalam saya.
Pengalaman in terjadi saat ada kegiatan Corporate Social Responsibility (dengan mengundang siswa- siswa SD Cihuni 2 untuk merasakan fasilitas yang kami rasakan saat kuliah ) di kampus Universitas Multimedia Nusantara.
Saat itu siswa SD Cihuni 2 yang baru sampai di lobby kampus langsung meminta kepada panitia untuk mampir sejenak di toilet untuk buang air kecil.
Sebenarnya saya adalah koordinator bagian dokumentasi, jadi saya tidak berurusan langsung dengan masalah per- toilet-an.
Namun, setelah melihat hampir separuh (berarti sekitar 70 anak) menghilang untuk ke toilet, saya memutuskan untuk menengok sebentar apa yang sedang terjadi di toilet.

Sampai di lorong untuk masuk toilet saya melihat antrian panjang anak SD, sudah seperti melihat antrian pembagian sembako. Berhubung saya tidak berniat buang air kecil, dan saya adalah panitia, langsung saja saya terobos antrian tersebut dan masuk ke toilet.
Keadaan diluar yang gaduh karena panjangnya antrian ternyata tidak seberapa dibanding kegaduhan di dalam toilet.

“Kak, ini siramnya gimana?” teriak salah seorang siswi SD dari dalam bilik toilet.
Saya menoleh sejenak, ingin membantu sebenarnya, namun posisi panitia lain lebih dekat dan akhirnya dia yang mengajari.

“Gini, pencetan ini untuk flush”, terang panitia itu.
“Flush itu apa ya kak?”tanya anak SD itu lagi.
“Em.. siram- siram!” jawab panitia lagi dengan muka sedikit heran, geli, kasihan, yah campur aduklah.

Pada akhirnya saya memutuskan untuk segera keluar dari toilet itu, karena memang kondisi toilet itu sudah sangat penuh, ribut, dan kacau. Kehadiran saya di toilet itu bukan makin membantu, malah memperkeruh keadaan yang sudah sangat kacau.

“Kak, saya bilasnya pake apa?”
“Pipisnya gimana yah kak?”
“Wah, pengering tanganya bagus”
“Aduh, jongkoknya gimana?”
Saya melenggang keluar (sambil sedikit berbisik pada teman- teman panitia yang lain, “SEMANGAT!”) dengan diiringi teriakan anak- anak SD pada panitia bagian anak.

Saat itu saya memang tidak membantu apapun, justru merekalah yang membantu saya.
Membantu saya untuk melihat kehidupan dari sisi yang berbeda. Sisi yang seharusnya selalu bersyukur dengan apa yang ada dan bukan menggerutu akan apa yang tidak saya miliki. Sisi yang siap menunduk bukan selalu menengadah, membandingkan diri dengan yang ada diatas kita.


Pelajaran berharga dari SD Cihuni 2, saya memang abadikan dengan kamera di tangan saya.
Walaupun saya sedikit menyesal karena tidak bisa mengabadikannya dalam bentuk video yang bergerak (teman- teman bagian video mendadak tidak bisa mengikuti acara karena ada kuliah pengganti) dan sibuk mengabadikan gambar kegiatan bukan hubungan dengan kampus (kurang ada identitas UMN).
Namun, pelajaran yang sesungguhnya saya dapatkan tidaklah cukup diabadikan dalam susunan gambar itu.
Kesemuanya itu haruslah terpatri dan tumbuh dalam kehidupan saya, itu yang akan menjadi abadi dan bisa dilihat lebih banyak orang.

2 comments:

  1. Yup..kalau bisa, sering2 main ke kampung disekitar UMN, mungkin lebih terkejut lagi....agak culture shock karena daerah yg dulu jauh dari keramaian..tiba2 berada disamping peradaban maju..btw kalo mau CSR lebih baik di daerah sekitar kampus yah..tingkat putus sekolah tinggi, begitu juga perkawinan dini serta pergaulan bebas...

    ReplyDelete
  2. klo bisa bantu untuk merenovasi SD trsebut, krena sangat miris menurut sya ada kampus yg bgitu mewah sdangkan didekatnya ada SD yang sperti itu. setidaknya sya tau kondisi SD trsebut krna prnah brsekolah disitu

    ReplyDelete